CERITA DEWASA

# SELAMAT DATANG DI BLOGGER CERITA DEWASA. BLOGGER INI HANYA KHUSUS USIA 21 KE ATAS

Minggu, 11 Oktober 2020

SEKS DENGAN MBAK JUMINTEN PEMBANTUKU PART 1

 


Namaku Agus, 28 tahun, kisah ini terjadi 3 tahun lalu ketika aku memulai karir baru sebagai auditor di PTPN IV di kawasan perkebunan Teh di Jawa Barat. Aku tinggal seorang diri di rumah dinas mungil dan asri semi permanen di sekitar kebun. Untuk keperluan bersih2 rumah dan mencuci pakaian aku mempekerjakan seorang pembantu harian, mbak Juminten. Wanita ini berumur 44 tahun, hitam manis, tinggi skitar 160 dan tubuhnya sedikit gempal. Mbak Juminten asli Solo, dia menikah dan ikut suami yg bekerja di perkebunan ini. 5 tahun yg lalu suaminya wafat dan meninggalkan seorang balita perempuan berumur 5 tahun. Mbak Juminten mengontrak rumah kecil di desa sekitar perkebunan bersama ibu mertuanya yg sdh tua. 5 bulan mbak Juminten melayani keperluanku dgn baik, meski agak pendiam dan memang kami jarang bertemu kecuali di akhir pekan.

Gaji yg aku berikan sebenarnya diatas pasaran, ttp mungkin karena besarnya kebutuhan beliau sesekali meminjam uang dariku. Belakangan mbak Juminten meminjam uang lebih besar dari biasanya, setelah aku tanya dgn detail akhirnya dia mengakui telah terjebak rentenir akibat kebiasanya membeli togel dan arisan. Tidak mengerankan, hanya beberapa bulan berlalu mbak Juminten telah meminjam uangku lebih dari 2 jt, dan pada usahanya meminjam terakhir aku menolaknya dengan halus. Pagi itu dia sangat bingung dan panik, dengan meneteskan air mata beliau mencoba terus memohon utk memberinya pinjaman sekitar 1,5 jt utk menutupi tuntutan hutang dari bandar judi togel di desa. Aku kembali menolak dengan tegas, dan mbak juminten terus terisak. Aku memperhatikan wanita paruh baya ini dgn seksama, wajahnya seperti kbanyakan wanita jawa pada umumnya,tdk cantik tp aku akui masih terlihat lebih muda dari umurnya. Dan sebenarnya selama ini juga aku sesekali melirik tubuh bawahnya yg msh kencang dan bahenol walau pikiran kotorku tdk melangkah lebih jauh. Semalam, aku dan beberapa temanku sempat iseng nonton film blue sambil makan sate kambing dari warung makan Pak Kirun di ujung desa dan minum beberapa botol anker bir. Pagi itu terasa akumulasinya. Kesadaranku belum begitu pulih.

 


Aku mencoba menepis pikiran itu, bagaimanapun itu bukan diriku yang sebenarnya. Mbak Juminten juga jauh dari tipe wanita yg aku inginkan. Terlebih aku takut dengan akibat yg bisa saja terjadi. Bagaimana kalau dikemudian hari kenekatanku akan berbalik menjadi bencana utk diriku dan karir. Pikiranku masih silih berganti antara pertimbangan kotor dan waras. Mbak Juminten masih duduk bersimpuh di depanku sambil melelehkan air mata. Ruangan menjadi sunyi. Well, aku tidak mungkin tega menolak permohonanya, tapi setidaknya dia harus belajar utk berfikir panjang.

“Jangan duduk di lantai mbak,

dikursi aja, saya jadi gak enak”

Kataku

Aku memulai bicara.

 “Nggih Den..”

Katanya

 ia bangkit untuk berdiri,bagian bawah pada daster lusuh itu sedikit tersingkap ketika dia berdiri, ada bagian yg tidak sengaja menyangkut pada tonjolan kepala peniti pada kancing terbawahnya,sebagian pahanya yang besar dan lututnya terkuak dihadapanku beberapa detik. Buru2 dia menariknya kebawah begitu tersadar. Pikiranku kembali kacau.





“Hmm…bingung saya mbak..”

Jawabku

  Kepalaku masih terasa pusing hasil minum2 semalam, aku menekan sisi kiri kepalaku.

 “Kenapa den, pusing?”

Tanya mbak Juminten.

“Iyah, semalem begadang sm temen2..”

Jawabku.

 “Mbak ambilin aer putih sebentar..”

Serunya

Ia segera berlalu ke dapur.

 Sekelebat aku masih sempat melihatnya melangkah pelan, setan makin kuat mempermainkan pikiranku. Bongkahan pantat itu bergoyang2 dibalik daster, mungkin pakaian dalamnya sdh sempit, dan bayangan tentang pahanya yg td sempat terlihat itu makin menggangguku. 


“Makasih mbak”

Ujarku ketika menerima segelas air putih

 Dan meminumnya perlahan. Mbak Juminten masih berdiri di depanku, menungguku selesai minum. Aku menyumpahinya dalam hati, melihat tubuhnya lebih dekat seperti itu pikiranku makin terpuruk.

“Duduk aja mbak, santai aja,

kita bicarain dengan tenang ”

Ujarku.

 “Iya den..”

Jawabnya pelan.

 “Gak kebanyakan mbak mo minjem segitu?,

terus terang saya keberatan, kayaknya yg

kemaren2 sudah cukup..”

Ujarku

Aku memulai kembali pembicaraan.

 “Sebenernya utangnya sejuta tuju ratus den,

tapi mbak nambain pake simpenan dirumah,

tolong banget den, mbak sebenernya

malu banget tp kepaksa..”

Jawabnya lirih.

 “Waduh..”

Jawabku terputus.

  Aku kembali terdiam, kepalaku masih terasa pusing. Aku menatap pemandangan luar dari jendela. Sebenarnya tidak jadi soal utk soal jumlah uangnya, cuma sisi gelapku masih mencoba meyakinkanku utk mengambil kesempatan. Mbak Juminten menatap ke lantai, pikiranya masih kalut. Dia menanti jawabanku dengan putus asa. Aku akhirnya menyerah, biarlah, ini utk terakhir aku membantunya, dan berharap dia segera pulang agar sesuatu yg terburuk tidak terjadi pagi ini.

 “Okay mbak, sebenarnya ini berat buat saya..”

Ujarku.

 “Mbak rela ngelakuin apa aja den supaya

den percaya mbak mau balikin uangnya..”

Sergahnya.

“Apa aja..”

Kataku

 Waduh, kata2 itu sangat menggelitik benakku. Perempuan bodoh, seruku dalam hati.

 “Ngelakuin apa aja maksudnya apa nih mbak..”

Tanyaku

Aku tersenyum.

 “Apa aja yg den agus minta mbak kerjain ..”

Jawabnya lugu.

“Selain urusan rumah memang

apa lagi yg bisa mbak kasih ke saya?”

Kataku

Aku mulai menjebanya.

 “Hehe..apa aja den..”

Jawabnya

Ia tersipu.

“Mbak..mbak..hati2 klo ngomong..”

Kataku

 Aku menghela nafas menahan gejolak batin.

 “Maksudnya apa den..”

Tanyanya heran.

 “Saya ini laki2 mbak, nanti kalo

saya minta macem2 gimana..”

Lanjutku mulai berani.

 “Mbak gak paham den..”

Katanya

Wajahnya masih bingung.

“Yaa gak usah bingung,

katanya mau ngelakuin apa aja..”

Godaku.

 “Yaa sebut aja den, nanti mbak usahain kalo

memang agak berat dikerjain..”

Jawabnya.

“Walah..mbak..mbak..yaa sudah saya ambil

uangnya sebentar, tapi janji yah

dikembaliin secepatnya”

Kataku

 Aku berusaha menyudahi percakapan ini.

 “Makasih den..makasih banget..”

Jawabnya lega.

“Tapi emangnya den Agus tadi mau ngomong

apa,mungkin mbak bisa bantu?”

Lanjutnya.

 Aku yg tengah berjalan menuju kamar terhenti, kali ini pikiranku sudah tidak terkontrol lagi, kalimat itu seperti akan meledak keluar dari mulutku. Aku membalikan badan, menatapnya dengan seringai aneh.

 “Mbak yakin mau nurutin apa aja kemauan saya?”

Sergahku.

 “Iya den, ngomong aja..”

Jawabnya.

Dasar perempuan bodoh ujarku dalam hati.

 ” Saya kepengen mbak masuk ke kamar saya..”

Kataku

Selanjutnya seperti tercekat ditenggorokan.

 “Terus Den?”

Tanyanya penasaran.

” Mbak temenin saya tidur..”

Ucapanku

 Serasa melayang diudara, jantungku berdegup kencang. Wajahnya sontak kaget dan bingung. Aku tau dia pasti akan bereaksi seperti itu, tapi salahnya sendiri. Aku sudah berusaha keras utk menahan diriku utk tidak berniat aneh pada dirinya tapi kesadaranku belum penuh utk melawan kegilaan ini.

 “Maksudnya..maksudnya apa den..

mbak kok jadi takut..”

Katanya

Wajahnya mulai memucat.

“Iya temenin saya di ranjang, saya lagi

kepengen gituan dengan perempuan sekarang..”

Jawabku

Aku tau mukaku memerah.

 “Mmm…tapi..tapi itu kan gak mungkin den..”

Ujarnya

Suara  pelan.

“Mungkin aja kalo itu syaratnya

mbak mau pinjem uang..”

Jawabku .

Ruangan kembali sunyi, mbak Juminten tertunduk, menggenggam kedua tanganya dengan gelisah. Ada rasa sesal telah mengucapkan kalimat tadi, tapi sudah terlanjur. Aku sudah tidak mungkin menariknya, sekarang biar sisi gelapku yg bertindak.

“Gimana mbak?”

Tanyaku

Aku kembali duduk dikursiku.

“Tapi itu gak mungkin Den..gak mungkin..

mbak bukan perempuan kaya gitu..”

Jawabnya lirih.

Hhhh… Aku menghela nafas berat. Mbak Juminten wajahnya kembali muram, matanya menatap ke luar pintu, kosong, sperti berpikir keras.

“Mbak gak nyangka kok aden bisa2nya minta

yang kaya gitu..mbak ini sdh tua..gak pantes ..”

Katanya

Aku diam beberapa saat.

 Ada rasa amarah tanpa alasan bermain dipikiranku.

 


“Itulah laki2 mbak..”

Kataku

 Hanya itu kalimat yg bisa meluncur dari mulutku. Dia mungkin menyesal telah mengucap kata2 yg tadi memancing kenekatanku. Tapi situasinya sudah terjepit, wanita lain mungkin akan menghardiku dan segera pergi menjauh, sementara mbak Juminten tidak punya pilihan lain.

 “Sekarang terserah mbak, saya tetep kasih uang yg

mbak minta, kalo mbak mau menuhin kemauan

saya okay, gak juga silahkan..”

Jawabku pelan

Aku melangkah ke kamar.

 Aku kembali ke ruang tamu dengan sejumlah uang ditangan. Aku meletakanya pelan di atas meja kecil di depannya. Wajahnya masih terlihat tegang, dia hanya melirik sebentar ke arah meja kemudian kembali tenggelam dalam pikiranya. Kami kembali sama2 membisu. Sesekali aku menatapnya, dia menyadari tengah diperhatikan olehku.

 “Den…apa aden yakin …?”

Katanya Tiba2

“Sebetulnya saya gak tega mbak, tapi entahlah..

itu yg ada dalam otak saya sekarang..terserah mbak de..”

Jawabku dengan tenang.

 Matanya berkaca2 menatap langit2 ruangan, perasaanya pasti tertekan. Dia kembali terdiam.

 “Hmmmm…baiklah Den..mbak gak tau lagi

mo ngomong apa, atau harus kaya mana

sekarang..kalo itu maunya aden..terserahlah..jujur aja

mbak teh takut banget..mbak bukan prempuan gitu

den..mbak memang janda..tapi bukan..”

Katanya

 “Sudahlah mbak, klo memang bersedia,

skarang saya tunggu di kamar, kalo keberatan,

silahkan ambil uangnya dan segera pulang..”

Ujarku tegas,

Kemudian aku bangkit berdiri dan melangkah ke kamar.

 Aku membaringkan tubuhku di kasur, trus terang aku pun dilanda ketakutan.Aku tengah dilanda gairah, tapi was2 dengan kemungkinan buruk yg bisa saja terjadi. Butuh beberapa menit menunggu, pintu kamarku yg memang tidak terkunci perlahan2 bergerak terbuka. Mbak Juminten melangkah masuk sambil tertunduk, terlihat sangat kikuk. Dia berdiri menatapku di samping ranjang, tatapanya penuh arti. Well, kalo saja aku tidak terlanjur berpikiran mesum mungkin aku segera berlari keluar kamar, aku merasakan takut yg sama seperti yg dirasa mbak Juminten. Tapi aku berusaha tenang, aku bangkit dan duduk di pinggir kasur.

 “Mbak yakin mau ngelakuin ini”?

Tanyaku.

“Hhh..sekarang smuanya terserah aden aja..”

Jawabnya pasrah.

 ku menatapnya lekat2, pandanganku menelusuri seluruh tubuhnya, seperti ingin menelannya hidup2. Tangan kananku meraih jemari kiri tanganya. Aku memegangnya pelan, jemari itu terasa dingin dan gemetar. Memang sudah harus kejadianya seperti ini, apa lagi yg aku tunggu ujarku dalam hati. Makin cepat makin baik, setan itu membisiki bertubi2. Aku menarik tangan itu agar tubuhnya mendekat. Niatku sebelumnya ingin memeluknya terlebih dahulu, tapi nafsuku sudah tidak tertahankan. Aku segera meneruskan dorongan tubuhnya yg limbung terhempas ke atas kasur. Begitu dia terhenyak di sampingku, aku langsung menerkamnya, menghimpitnya dibawah tubuhku dan ciumanku langsung mendarat dibibirnya. Aku tidak memberikanya waktu utk berpikir, aku melumat2 bibirnya, menciumi dengan kasar lehernya dan trus bergerak menjelajahi bagian dadanya. Nafasnya tersengal, wajah itu masih terkaget2 dengan apa yg sedang aku lakukan. Jemariku segera beraksi, aku menjamah bongkahan pahanya dibawahku, daster itu telah tersingkap ke atas. Aku seperti kesetanan menciumi pahanya yg besar, mengecup berkali2 selangkanganya dan jemari tanganku yg lain langsung meremas buah dadanya. Gerakanku cepat terburu nafsu. Sebentar saja seluruh tubuhnya telah ku jamah. Aku masih menciuminya membabi buta. Tak lama kemudian aku bergerak cepat membuka lepas pakaianya.

 “Den..jangan den..sudaah..”

Serunya

Ketika aku kembali menciuminya,

 Hanya bra dan celana dalamnya yg tersisa menutupi tubuhnya. Seraya kedua tanganya berusaha mendorong tubuhku. Aku tidak memperdulikan perlawananya. Aku menduduki perutnya sambil kedua tanganku bergerak melepas bajuku. Nafasku memburu, yg keluar dari mulutku hanyalah desahan penuh nafsu angkara murka. Wanita ini makin ketakutan melihatku. Kemudian aku bangkit berdiri di atasnya. Kedua tanganku bergerak cepat melepas celana pendek dan celana dalamku. Mbak Juminten menangis. Aku tidak perduli lagi, kejantananku telah berdiri mengacung di atasnya, mbak Juminten makin panik melihatku. Jemariku bergerak2 mengocok2 cepat batang penisku sehingga semakin keras berdiri, matanya terpejam basah.

 “Den..sudahlah den…jangan..sudahlah..

mbak gak jadi pinjem uang..sudaaah..”

Jeritnya

Ketika aku kembali menduduki perutnya.

 ia berusaha meronta tapi kedua tanganku dengan kuat menahan tanganya pada kedua sisi bantal.

 “Sudah telat mbak”

Suaraku bergetar menghardiknya.

 Aku memaksa kedua paha sekel itu terbuka, dia masih berusaha menutupnya rapat. Kami bergumul beberapa saat, begitu ada celah aku segera menekan kuat selangkanganku di dalam jepitan pinggul mbak Juminten. Dengan gerakan kasar aku menarik ke samping paha kirinya. Tanganku langsung bergerak menuntun penisku ke arah vaginanya. Aku sempat salah memposisikanya, dorongan penisku menggesek keluar di atas permukaan kemaluanya. Pada percobaan kedua kepala penis itu langsung menusuk masuk. Mbak Juminten menjerit terperikan oleh rasa sakit..Wajahnya meringis,matanya menyipit menahan perih diselangkanganya. Dia sangat terkejut ketika benda itu menerobos masuk. 


“Ahhh…shhh…oohhh..”

Desahku,

Terasa nikmat menjalar melalui kejantananku hingga naik ke otak, aku seperti terbakar. Melihat kemaluan mbak Juminten yg berbulu lebat membuatku makin bernafsu. Tubuh kami masih terdiam kaku beberapa saat. Aku sedikit menarik penisku dan menusuknya kembali di dalam, mbak Juminten kembali tersedak,urat lehernya menegang, matanya menatap ke arah selangkangan, lelehan air mata itu masih mengalir dipipinya. Aku kembali mengulanginya, kali ini aku mendorongnya lebih keras. Mbak Juminten makin menjadi tangisnya.

“Ouhh..huuhuu..huhuu..deen..sudah denn…sudaaah..”

Rintihnya

Ia memegang bahuku keras.

Selanjutnya aku lupa diri, aku meliuk2 menyodok selangkanganya. Penuh tenaga, makin lama makin cepat gerakanku. Bunyi derit ranjang kayu itu menambah seru suasana. Wanita ini memiliki tubuh yg cukup menawan. Meski sudah berumur tapi kulitnya masih kencang, bokongnya tebal dan bahenol. Pahanya yg besar itu mulus meski tidak putih, melingkari pinggulku. Aku beringas menghempas2 tubuhnya di bawahku. Mbak Juminten telah berhenti menangis, matanya terpejam, hanya terdengar suara nafasnya yg terputus2, buah dadanya bergoyang2 mengikuti gerakanku. Wanita ini sudah pasrah dengan apa yg tengah terjadi. Bahkan ketika aku merubah posisi, mengangkat kedua pahanya ke atas, menahanya tergantung di udara dengan kedua lenganku,kembali penisku terbenam,mbak Juminten hanya diam. Hujamanku makin bebas dan dalam menjajah vaginanya yg terkuak lebar. “.. Plok..plok..plok..” Suara gesekan selangkangan itu terdengar jelas ditelingaku. Kemaluan mbak Juminten yg basah makin menghangatkan batang penisku di dalam. Sesaat lagi aku sudah tidak kuat menahan desakan, aku seperti kesetanan menggenjotnya. Mbak Juminten seperti mengerti apa yg akan segera terjadi.

“Den..tolong.. jgn keluarin di dalem den..tolongg…”

Serunya

Ia memohon dengan suara gemetar.

 Aku tidak menjawab, aku tengah fokus ingin menuntaskan aksiku. Sedikit lagi akan sampai. Mbak Juminten memekik menyebut namaku saat tusukanku tiba2 berhenti, tubuhku tengah meregang.

“Deenn..cabut deen…”

Serunya panic

Ia menekan perutku ke belakang.

Aliran sperma itu bergerak naik mendekati pangkal penisku, jemariku telah kuat mencengkram sprei. Beruntung aku masih sempat menarik batang penisku keluar dan tepat sedetik kemudian semprotan pertamanya melompat keluar.

“Ahhhhh…sshhhhhh…mbaaak…aduuhhhh…..”

Jeritku panik.

Belasan kali cairan hangat itu menghantam sebagian perut mbak Juminten. Aku terpapar kenikmatan luar biasa, mataku terpejam beberapa saat hingga akhirnya semuanya usai. Mbak Juminten melihat proses akhir tadi dengan seksama, dia memperhatikan wajahku yg meregang, matanya was2 melihat penisku memuntahkan cairan kental itu membaluri perutnya.

“Sudah den..sudah puas ?”

Ujarnya beberapa saat ketika aku masih tersengal diam di atasnya.

Air mata itu kembali mengalir dari pinggir pipinya. Kalimat itu serasa menamparku. Rasa penyesalan perlahan2 merayap . My gosh, aku baru saja menodai perempuan ini. Bagaimana mungkin hingga aku bisa sebejat itu.

“Maafin saya mbak..saya bener2 khilaf..”

Jawabku bingung.

Aku beringsut mundur, memungut seluruh pakaianku, melangkah ke kamar dan meninggalkanya terbaring di ranjang. Aku melepas kekalutan pikiranku dengan menghisap sebatang rokok di ruang tamu. Mudah2an mbak Juminten tidak memperkarakanku, menganggapnya selesai hanya di sini. Aku menepuk2 keningku menyesali kebodohanku. Mbak Juminten keluar kamar beberapa menit kemudian. Matanya sembab, dia duduk di kursi di sampingku, tanpa bicara. Suasana hening, aku tidak berani menatapnya atau memulai pembicaraan.

“Ini uangnya saya ambil den,

nanti diusahain dikembaliin kok..”

Ujarnya pelan,

suaranya berat,hidungnya seperti tersumbat cairan.

“Iya mbak, gak usah dipikirin soal kembalianya..

dan..maaf soal yg tadi..”

Jawabku tanpa menoleh kepadanya.

“Gak papa den..gak papa..”

Jawabnya

tangisnya kembali pecah sedetik

kemudian, bahunya terguncang2, aku hanya bisa terdiam.

“Sekali lagi maaf mbak..”

Dia mengangguk pelan

Ia menunduk, tetes2 air mata itu masih berjatuhan dipangkuanya.

Aku meraih uang itu, melipatnya,kemudian memasukanya ke dalam kantung dasternya. Jemariku menyentuh pangkal tangannya, menepuknya pelan kemudian tanpa bicara aku melangkah masuk ke kamar sambil menutup pintu. Aku tidak sanggup lagi melihat wanita itu menangis. Aku terbaring,penat terasa, pinggangku nyeri. Aku melihat Jam di dinding, pukul 2 siang, aku mungkin telah tertidur lebih dari 2 jam. Perutku sangat lapar, aku melangkah keluar kamar. Mbak Juminten mungkin telah lama pulang. Aku kembali didera pikiran buruk. Dendamkah dia padaku, bisa saja tiba2 orang sekampung muncul mendatangiku dengan tuduhan cabul atas laporan darinya. Hhhh..sudah terjadi, yg nanti urusan nanti. Aku pergi kerja agak telat keesokan harinya, aku sengaja menunggu mbak Juminten datang, memastikan bahwa kekawatiranku tidak terjadi. Jam 8 mbak Juminten tiba, perasaanku tidak karuan ketika dia membuka pintu depan.  

“Loh belum kerja den?”

Tanyanya.

Wajah itu terlihat datar, malah ada senyuman kecil menghias bibirnya.

 





“Ini dah mau jalan mbak, sengaja nunggu mbak dateng..”

Jawabku berusaha tenang.

“Hehe..kenapa, takut saya gak bakal dateng lagi ya?”

Tertawanya membuatku lega.

“Iya mbak..takut aja, …mm..”

Kataku

“Mm.. Apa den..?”

Lanjutnya

Ia masih berdiri di depanku.

“Maaf yg kmaren mbak…”

Jawabku.

“ya ndak papa den…mmm..yo wis..lupain aja..”

Serunya dia melangkah ke dapur tanpa menunggu reaksiku selanjutnya

Yah sudahlah, yg jelas tidak akan ada masalah, dia sudah menerima perlakuanku kemarin. Aku segera berlalu menuju kantor. Hari2 selanjutnya berlangsung normal, kami hanya bertemu di akhir pekan, tidak ada bahasan lagi soal peristiwa itu. Mbak Juminten tetap melakukan pekerjaanya dengan baik. Kami hanya sesekali mengobrol basa basi. Satu bulan berlalu, aku mulai melupakan peristiwa itu. Kerjaanku makin banyak mendekati akhir tahun. Aku juga makin sering menghabiskan waktu di luar bersama teman2 di akhir pekan. Hingga pada suatu pagi di hari sabtu aku terbangun dan terjebak dalam lamunan tentang mbak Juminten. Malam itu aku mimpi erotis, dengan mbak Juminten, cairan sperma itu sebagian telah mengering memenuhi celana dalamku. Dalam mimpi itu aku menggauli mbak Juminten dari belakang, bongkahan pantat itu terpapar jelas dalam penglihatanku. Damn it, kenapa hal ini kembali menggangguku. Jam 9 pagi, wanita itu telah datang seperti biasanya. Aku baru saja selesai mandi dan tengah bersiap utk sarapan.

” Dah sarapan mbak? Ayo ini saya tadi

beli dua bungkus nasi uduknya, satu utk mbak..”

ujarku

Aku tersenyum ramah.

“Makasih den..nanti aja, mbak mau

beres2 cucian pakaian dulu..”

Jawabnya.

“Santai aja dulu..temenin saya sarapan dulu..”

Katanku

Ntah kenapa pagi itu aku agresif.

“Nggih den, sebentar ambil piring dan sendok dulu..”

Jawabnya

Ia melangkah ke dapur.

Aku melihat tubuhnya dari belakang, rok merah sepanjang bawah betis itu cukup jelas mencetak lekukan pinggul, pantat dan pahanya. My gosh, darahku berdesir, mimpi semalam membuat hayalanku makin parah. Otaku segera bereaksi, mencari jalan pintas, berandai2 seandainya hari ini aku kembali bisa memperdayainya. Aku segera menepis pikiran buruk itu. Mbak Juminten telah kembali, duduk bersebrangan di depanku dan telah bersiap utk makan.

“Gimana kabar orang rumah mbak,

sehat semua?”

Tanyaku basa basi.

“Sehat den…”

Jawabnya santai.

“Anaknya kapan mulai sekolah mbak,

taun depan?”

Kataku

“Iya den, rencana taun depan..mdh2an

rejekinya lancar..”

Katanya

“Yaa selagi saya di sini tetep aja kerja di sini mbak..

klo mbak mau tambahan, mungkin coba mulai masak

katering utk anak2 sini, kemaren ada obrolan kita di sini

soal itu. Pada bosen katanya makan masakan luar,

lebih boros juga…”

Lanjutku.

“Wahh bagus tu den..tapi perlu modal, ibu

mertua saya pinter masak..”

Jawabnya semangat.

“Gampang soal modal, nanti saya pinjemin..

klo mau mulai depan mbak..nanti saya

tawarin temen2 saya..”

Kataku

“Gak enak klo dipinjemin melulu, kasian den Agus..”

Jawabnya.

“Yaa klo utk bisnis kenapa gak mbak, sama2 bantu..

saya jg nanti minta harga diskon dong..hehe..”

Jawabku.

“Hehe..untuk den Agus gratis aja..lha uangnya

kan dari aden jg..”

Katanya

“Yaa gak boleh gitu mbak, bisnis tetep bisnis..”

Jawabku.

“Duh saya makin banyak utang budi dong den..”

Lanjutnya.

“Jgn berpikir gitu..saling bantu wajar aja mbak..”

Kataku

“Yo wis, nanti tak bilangin sama ibu mertua,

dia pasti seneng..”

Katanya

“Iya mdh2an jalan mbak..semangat yg penting..”

Jawabku.

Obrolan pagi itu terasa menyenangkan, spertinya dia benar2 melupakan kejahatanku waktu itu. Aku merasa lega, walau dalam hati aku menginginkan kehangatanya lagi. Pasti nanti ada jalannya, sabar aja, setan itu kembali membisiki. Minggu pagi, keesokan harinya, mbak Juminten datang membawa anak perempuanya ke rumah.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar